THalo sobat Biografinesia! Sebelumnya kita sudah membahas kiprah perjuangan Dr Cipto Mangunkusumo. Kali ini, kita akan mengetahui biografi Dr Sutomo, seorang dokter yang menjadi penggagas berdirinya Budi Utomo.
Budi Utomo berdiri pada tahun 1908 dan menjadi awal banyaknya organisasi nasional yang berdiri untuk melawan penindasan penjajah.
Nah, bagi kalian yang ingin mengenal biografi Dr Sutomo secara mendalam, yuk langsung saja cek ulasannya berikut ini.
Contents
Profil Dr Sutomo
Nama: Soetomo
Nama Asli: Soebroto
Tempat Lahir: Nganjuk, Jawa Timur
Tanggal Lahir: 30 Juli 1888
Profesi: Dokter
Istri: Everdina J Broering
Wafat: 29 Mei 1938
Biografi Dr Sutomo
Dr Sutomo memiliki nama kecil Soebroto. Beliau lahir di desa Ngepah, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 30 Juli 1888.
Sutomo merupakan anak dari kalangan priyayi terpandang. Ayahnya, R Suwaji adalah bangsawan yang menjabat sebagai wedana alias camat di Maospati, Madiun. Kemudian, beliau pindah pekerjaan menjadi ajun jaksa Madiun.
Dari kecil, Sutomo mendapat didikan dari kakeknya, Raden Ngabehi Singawijaya atau KH Abdurrakhman agar bisa menjadi pribadi yang taat beragama, rajin ibadah serta berpendirian teguh.
Pendidikan
Ketika berusia 6 tahun, keluarga Sutomo pindah rumah ke Madiun. Dari sini, beliau mulai menimba ilmu ke Sekolah Rendah Bumiputera Maospati Madiun.
Tetapi, beliau dipindahkan ke Bangil (Jawa Timur) supaya bisa masuk ke sekolah rendah Belanda, yaitu Europeesche Lagere School (ELS).
Sutomo pun tinggal bersama pamannya, Harjodipuro karena kebetulan putranya yang bernama Sahit pun akan masuk ke ELS.
Sayangnya, saat pendaftaran pertama, Sutomo tak lolos masuk ELS. Namun, pamannya tak putus asa dan membawa kembali Sutomo keesokan harinya. Kali ini, ia mendaftarkan nama ‘Sutomo’ di sekolah tersebut, bukan lagi ‘Subroto’.
Alhasil, nama Sutomo berhasil diterima dan ia terkenal sebagai siswa pandai yang disegani oleh teman-temannya, baik itu orang pribumi maupun Belanda. Bahkan, Sutomo termasuk salah satu siswa kesayangan guru-gurunya.
Setelah tamat dari ELS, tepatnya saat berusia 15 tahun, Sutomo melanjutkan pendidikan ke sekolah dokter Batavia, yaitu School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) pada 10 Januari 1903.
Pada masa awal pendidikan, Sutomo terkenal sebagai siswa pemberani, namun malas belajar dan sering mencari masalah. Hal ini membuat hasil belajarnya kurang memuaskan saat awal bersekolah di STOVIA.
Tetapi, memasuki tahun ke-4, sikapnya malah berubah drastis. Sikap dan cara hidupnya menjadi lebih baik, terutama setelah sang ayah meninggal pada tanggal 28 Juli 1907.
Sejak saat itu, beliau menjadi pribadi yang peduli terhadap lingkungan sekitar dan memiliki jiwa sosial yang tinggi.
Berdirinya Budi Utomo
Ketika sedang menimba ilmu di STOVIA, Sutomo pernah bertemu dengan Dr Wahidin Sudirohusodo, alumni STOVIA sekaligus pensiunan dokter.
Dr Wahidin datang untuk memberikan ceramah kepada pelajar STOVIA terkait pendidikan yang dapat menjadi jalan untuk lepas dari penjajah.
Salah satu cara yang bisa ditempuh menurut gagasan Dr Wahidin adalah mendirikan Studie Fond alias Dana Beasiswa untuk anak-anak kurang mampu.
Pertemuannya dengan Dr Wahidin Sudirohusodo memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran Sutomo yang memiliki cita-cita membela rakyat kecil.
Tak hanya Dr Wahidin, beliau juga mendapat pengaruh besar dari Dr Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang banyak berjuang demi rakyat Indonesia.
Berkat kedua tokoh tersebut, Sutomo semakin yakin untuk mewujudkan cita-citanya. Sehingga, ia mulai menyampaikan gagasannya kepada teman-teman STOVIA.
Pada hari Rabu, tanggal 20 Mei 1908, lahirlah Budi Utomo (budi yang utama) yang merupakan perkumpulan untuk merealisasikan cita-cita yang tinggi dan besar demi bangsa Indonesia.
Nama ‘Budi Utomo’ terinspirasi dari ucapan Dr Wahidin saat akan berpisah, yaitu:
Punika satunggaling pedamelan sae serta nelakaken budi utami (Itu adalah perbuatan yang baik serta budi utama).
Para pelajar STOVIA yang hadir dalam rapat pembuatan nama perkumpulan pun sepakat menggunakan nama Budi Utomo.
Adapun peserta rapat yang hadir saat itu, diantaranya Sutomo, Suwarno, Angka, Gumbreg, Soeradji, Mohammad Saleh, Gunawan Mangunkusumo serta M Sulaiman.
Setelah berhasil membuat nama, selanjutnya mereka mulai menyusun siapa saja yang akan terpilih menjadi pengurusnya. Tentunya, organisasi ini diketuai oleh Sutomo selaku penggagas berdirinya organisasi tersebut.
Dalam perkembangannya, Budi Utomo mendapatkan banyak dukungan, terutama dari anggota yang baru bergabung. Hanya saja, masih ada beberapa guru STOVIA yang memberikan respon negatif.
Meski begitu, kepala sekolah STOVIA, yaitu Dr H. F. Roll memberikan dukungan penuh terhadap Budi Utomo.
Bahkan, beliau memberikan pinjaman dana untuk keperluan kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta.
Kongres Pertama Budi Utomo
Kongres Budi Utomo pertama dilaksanakan pada 3-5 Oktober 1908 yang dipimpin oleh Dr Wahidin. Tujuannya untuk menetapkan serta mengesahkan anggaran dasar hingga Pengurus Besar Budi Utomo yang terdiri dari kaum tua.
Berkat kepengurusan kaum tua, dana Studie Fond lebih mengalir lancar untuk keperluan beasiswa para pemuda kurang mampu demi memajukan pendidikan Indonesia.
Tak hanya pada bidang pendidikan, Budi Utomo juga bergerak untuk memajukan nusa dan bangsa dalam berbagai bidang, seperti pertanian, peternakan, teknik dan industri, perdagangan hingga kebudayaan.
Sehingga, seluruh masyarakat bisa memiliki cita-cita tinggi demi kehidupan yang lebih terhormat.
Sampai akhir tahun 1909, Budi Utomo sudah memiliki sebanyak 40 cabang dengan anggota sekitar 10 ribu orang. Tentunya, Sutomo tetap aktif memimpin organisasinya hingga beliau lulus dari STOVIA.
Karir dan Perjuangan Dr Sutomo
Sutomo lulus dari STOVIA dan menjadi dokter pada tahun 1911. Beliau resmi menjadi dokter pemerintahan serta ditempatkan ke berbagai tempat berbeda, sehingga harus hidup berpindah-pindah.
Mulai dari kota Semarang, Tuban, Malang, hingga Lubuk Pakam (Sumatera Timur). Dr Sutomo tercatat sebagai salah satu dokter yang ikut serta menangani wabah pes di Malang.
Berkat pengalamannya inilah, mata Dr Sutomo menjadi semakin terbuka dengan keadaan rakyatnya. Sehingga, beliau mulai mengobati pasien tanpa memberi tarif harga, bahkan gratis.
Pada tahun 1917, Dr Sutomo menikahi seorang perawat berdarah Belanda, yaitu Everdina J Broering. Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1919, Sutomo pindah ke Belanda dan membawa istrinya karena beliau akan melanjutkan studi ke Universitas Amsterdam.
Di Belanda, beliau bergabung dengan organisasi perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda, yaitu Perhimpunan Indonesia (PI).
Beliau pun bertemu dengan para tokoh terkenal PI, seperti Moh Hatta, Nazir Pamuncak, Ahmad Soebarjo, Sumantri, Ali Sastroamijoyo, Iwa Kusuma, serta Sunario.
Pada bulan Juni 1923, beliau menyelesaikan pendidikannya dan pulang ke Indonesia. Kemudian, Dr Sutomo mulai bertugas menjadi seorang dosen sekolah dokter, yaitu Nederlandcse Indische Artsen School (NIAS) Surabaya.
Tanggal 11 Juli 1924, Dr Sutomo mulai mendirikan perkumpulan lain yang bernama Indonesische Studieclub (IS). Perkumpulan ini beliau buat dengan tujuan memberikan kesadaran kepada para pelajar atas kewajibannya untuk masyarakat.
IS mengalami perkembangan pesat sejak pertama kali berdiri. Lalu, pada tahun 1930, namanya mulai berganti menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Sejak berganti nama, Sutomo bisa lebih banyak membantu rakyat dan memperjuangkan hak-hak mereka.
Wafatnya Dr Sutomo
Sayangnya, Dr Sutomo tidak sempat melihat Indonesia merdeka dan lepas dari penjajah. Sebab, setelah sang istri meninggal pada tanggal 17 Februari 1934, kesehatannya menjadi turun dratis.
Beliau pun wafat di usia 50 tahun, yaitu pada tanggal 29 Mei 1938. Jenazahnya dikebumikan di area Gedung Nasional Indonesia (GNI) Bubutan, Surabaya.
Penghargaan
Untuk mengenang jasa dan perjuangan Dr Sutomo, pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 27 Desember 1961.
Kesimpulan
Nah, itulah biografi Dr Sutomo yang bisa sobat Biografinesia simak. Setelah membaca perjalanan hidupnya, semoga kalian bisa terinspirasi, ya!
Sampai jumpa lagi di artikel biografi pahlawan nasional lainnya!