Halo sobat Biografinesia! Sebelumnya, kita sudah membahas tentang kisah hidup Buya Hamka, seorang ulama sekaligus penulis inspiratif. Nah, pada artikel kali ini, kalian akan mengetahui informasi mengenai biografi Jenderal DI Panjaitan.
Jenderal DI Panjaitan merupakan salah seorang pahlawan revolusi yang gugur dalam tugas, tepatnya ketika PKI mulai membuat kerusuhan di Indonesia.
Bagi sobat biografinesia yang penasaran dengan biografi Jenderal DI Panjaitan, maka bisa langsung baca informasinya berikut.
Contents
Profil Jenderal DI Panjaitan
Nama: Donald Isaac Pandjaitan
Tempat Lahir: Desa Sitorang, Balige, Tapanuli
Tanggal Lahir: 9 Juni 1925
Wafat: 1 Oktober 1965
Profesi: TNI-AD
Pasangan: Marieke Br. Tambunan
Anak: Catherine Pandjaitan, Masa Arestina, Ir (Ing) Salomo Pandjaitan, Letjen TNI (Purn.) Hotmangaraja Panjaitan, Tuthy Kamarati Pandjaitan, Riri Budiasri
Biografi Jenderal DI Panjaitan
DI Panjaitan memiliki nama asli Donald Isaac Panjaitan lahir pada tanggal 9 Juni 1925, Desa Sitorang, Balige, Tapanuli. Ayahnya bernama Raja Herman Pandjaitan dan ibunya bernama Dina Boru Napitupulu.
Beliau menikah dengan Marieke Br. Tambunan dan memiliki 6 orang anak, yaitu Catherine Pandjaitan, Masa Arestina, Ir (Ing) Salomo Pandjaitan, Hotmangaraja Pandjaitan, Tuthy Kamarati Pandjaitan dan Riri Budiasri Pandjaitan.
Latar Belakang Pendidikan DI Panjaitan
DI Panjaitan terkenal cerdas sejak masih kecil, tepatnya saat duduk di bangku sekolah dasar bernama Hollandsch Inlandsche School (HIS).
Berkat kecerdasannya, beliau berhasil masuk Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sebuah sekolah tingkat SMP pada zaman Belanda tanpa mengikuti test ujian.
Sebenarnya, DI Panjaitan ingin masuk ke Hogere Burger School (HBS), sekolah yang muridnya berasal dari kalangan elite. Tetapi, keadaan ekonomi keluarganya yang hanya pedagang kecil tak mampu mencukupinya.
Saat memasuki usia remaja, DI Panjaitan harus merasakan kepahitan yang amat luar biasa. Kedua orangtuanya meninggal ketika dirinya masih menempuh pendidikan di MULO.
DI Panjaitan pun hidup sebatang kara. Tetapi, beliau tetap tekun dan mampu mengatasi berbagai rintangan hingga bisa lulus MULO. Bahkan, beliau berhasil mengeyam bangku perkuliahan di Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat.
Karir Militer DI Panjaitan
Pada akhir tahun 1944, pemerintah Jepang membuat pasukan lokal yang bernama Gyugun (tentara sukarela) di Sumatera. DI Panjaitan segera bergabung dengan Gyugun karena tak tega melihat penderitaan rakyat.
Sebab, saat DI Panjaitan masih bekerja di sebuah perusahaan kayu bernama Ataka Sangyo Keboshihi Kaisha, Siak Sri Indrapura, beliau seringkali melihat banyak perlakuan tak manusiawi yang para romusha terima.
Namun, karirnya menjadi pasukan Gyugun hanya berjalan sebentar karena Jepang kalah dalam perang Pasifik pada 14 Agustus 1945.
Lantas, beliau pun menghubungi para mantan Gyugun dan berinisiatif mendirikan Pemuda Republik Indonesia yang terkenal dengan nama PRI di Riau. Pada bulan November 1945, PRI mulai melebur dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Badan semi-militer ini terbagi menjadi tiga batalyon, yaitu Pekanbaru, Bengkalis serta Indragiri. DI Panjaitan pun mulai menjabat sebagai Komandan Batalyon Pekanbaru.
Selanjutnya, BKR namanya berubah menjadi TKR atau Tentara Keamanan Rakyat. DI Panjaitan lantas menjadi Komandan Batalyon Resimen IV Riau yang memiliki pangkat Mayor.
Selang beberapa tahun kemudian, karir DI Panjaitan sempat menurun karena adanya kebijakan rekonstruksi dan rasionalisasi (re-ra).
Saat Ahmad Yani menjadi nomor satu Angkatan Darat, DI Panjaitan mendapatkan promosi untuk menjadi Asisten 4/logistik Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad), pada 1 Juli 1962.
Setahun setelah itu, DI Panjaitan naik pangkat menjadi Brigadir Jenderal tahun 1963.
Perjuangan DI Panjaitan
DI Panjaitan pernah membongkar rahasia PKI yang akan menerima senjara dari Republik Rakyat China (RRC). Senjata-senjata itu beliau temukan dalam beberapa peti bahan bangunan.
Seluruh senjata itu akan PKI gunakan untuk melakukan pemberontakan ke tanah air. Tentunya, aksi DI Panjaitan berhasil menyulut amarah para PKI. Sehingga, beliau menjadi sasaran pembunuhan dalam tragedi G30S PKI.
Gugur dalam Tragedi G30SPKI
Pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, ada sekitar 50 orang tentara bersenjata lengkap dari pasukan Cakrabirawa mendatangi kediaman DI Panjaitan. Kala itu, DI Panjaitan dan keluarganya tinggal di Kebayoran Baru, Jakarta.
Pemimpin pasukan tersebut adalah Sersan Soekarjo dengan tujuan menculik DI Panjaitan hidup atau mati.
Gerombolan itu memaksa masuk ke dalam rumah DI Panjaitan. Kegaduhan akibat suara langkah sepatu yang beradu dengan benda-benda keras membuang sang istri terbangun.
Istri DI Panjaitan, Marieke Br. Tambunan lantas terbangun dan melihat apa yang terjadi dari jendela kamar lantai atas. Beliau terkaget dan segera membangunkan sang suami.
Beberapa saat kemudian, para tentara mulai menembaki paviliun sampai pintu berhasil terbuka.
Bunyi tembakan ini membuat tiga kemenakan DI Panjaitan terbangun. Mereka sempat beradu senjata dengan gerombolan dan berakhir meninggal.
Tak hanya itu, suara tembakan yang bising pun berhasil membuat anak-anaknya terbangun. Mereka lantas berlari ke kamar orangtuanya dengan penuh ketakutan. Mencoba bersikap tenang, DI Panjaitan meminta anak-anaknya untuk bertiarap.
Anak buah Sersan Soekarjo yang masuk ke rumah sembarangan memaksa pembantu rumah tangganya untuk menunjukkan kamar DI Panjaitan. Karena ketakutan, pembantu itu segera memanggil DI Panjaitan dari dalam kamar.
Demi keselamatan keluarga, DI Panjaitan memutuskan untuk turun ke bawah. Sang istri meminta beliau untuk mengenakan pakaian militer lengkap dengan tanda pangkatnya.
Setelah berdoa, beliau pun segera turun untuk menemui para gerombolan. Tak berselang lama, terdengar tembakan pertama yang langsung mengenai kepala DI Panjaitan.
Tembakan mematikan itu terus bermunculan sampai beliau roboh. Bahkan, DI Panjaitan masih terus mereka tembaki setelah roboh ke lantai.
DI Panjaitan Dibuang ke Lubang Buaya
Saat memastikan bahwa DI Panjaitan sudah tak bernafas, PKI lantas menyeret jenazah DI Panjaitan ke dalam truk, kemudian membuangnya ke Lubang Buaya. Ternyata, tak hanya DI Panjaitan saja, ada beberapa jenazah perwira lainnya yang menjadi sasaran PKI.
Penemuan jenazah DI Panjaitan serta para perwira lainnya terjadi pada tanggal 4 Oktober 1965. Jenazahnya sudah dalam keadaan rusak, kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Saksi Mata Penembakan DI Panjaitan oleh PKI
Catherine Panjaitan, putri sulung DI Panjaitan dan Marieke menjadi saksi mata penembakan sang ayah oleh PKI di rumahnya sendiri.
Baginya, malam yang tenang berubah menjadi mencekam saat para gerombolan mulai memasuki rumahnya dengan paksa.
Saat itu, Catherine masih berusia 17 tahun. Dirinya terbangun pukul empat pagi karena mendengar ada banyak suara sepatu memasuki halaman rumahnya.
Dari jendela, Catherine melihat beberapa truk dan rumahnya dikepung oleh puluhan orang berseragam.
Catherine berkata bahwa orang-orang itu terus berteriak, “Bapak Jenderal! Bapak Jenderal.”
Ketika DI Panjaitan turun ke bawah dan mulai ditembaki tanpa ampun oleh para PKI, Catherine menyaksikan tragedi itu dengan mata kepala sendiri. Sehingga, tragedi kematian ayahnya terus membekas dalam dirinya, termasuk anggota keluarga lainnya.
Penghargaan
Melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 111/Koti, pada tanggal 5 Oktober 1965, Brigjen DI Panjaitan ditetapkan menjadi Pahlawan Revolusi. Kemudian, pangkatnya pun dinaikkan secara Anumerta menjadi Mayor Jenderal.
Kesimpulan
Itulah informasi mengenai biografi jenderal DI Panjaitan yang bisa sobat Biografinesia ketahui. Kisahnya memang memilukan, namun keberaniannya menghadapi PKI patut menjadikan beliau sebagai pahlawan revolusi.