Sebelumnya, kita sudah mengenal perjuangan Yos Sudarso yang rela gugur demi kemerdekaan Indonesia. Kali ini, kita akan membahas biografi Wolter Monginsidi, seorang pemuda asal Manado yang berani masuk ke kandang musuh dengan gagah.
Keberanian Wolter Monginsidi dalam menghadapi penjajah Belanda begitu menggetarkan jiwa. Apalagi saat itu ia masih berusia kepala dua, sekitar 24 tahun.
Bagi kalian yang ingin mengetahui perjuangannya yang luar biasa, yuk simak biografi Wolter Monginsidi berikut ini.
Contents
Profil Wolter Monginsidi
Nama: Robert Wolter Monginsidi
Tempat Lahir: Manado
Tanggal Lahir: 14 Februari 1925
Profesi: Guru bahasa Jepang
Wafat: 5 September 1949
Biografi Wolter Monginsidi
Robert Wolter Monginsidi lahir pada tanggal 14 Februari 1925 di Malalayang, Manado, Sulawesi Utara.
Ia merupakan anak ketiga dari pasangan Petrus Monginsidi serta Lina Suawa. Di lingkungan keluarga dan teman-temannya, beliau akrab disapa Bote.
Ayahnya merupakan seorang petani kelapa. Meskipun bukan dari kalangan keluarga mapan, tetapi sang ayah ingin anak-anaknya dapat mengenyam pendidikan tinggi.
Pendidikan
Wolter Monginsidi mengawali pendidikannya ke sekolah dasar HIS pada tahun 1931. Setelah lulus dari HIS, ia langsung pergi merantau ke Manado untuk melanjutkan studi di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Frater Don Bosco Manado.
MULO adalah sekolah menengah pada masa Belanda. Di Manado ini, MULO berada di bawah naungan Yayasan Katolik Don Bosco yang terkenal bagus kualitasnya.
Wolter Monginsidi berhasil lulus dari MULO setelah kekuasaan Belanda berakhir dan berganti Jepang yang menguasai Indonesia pada tahun 1942.
Selanjutnya, Wolter masuk ke dua sekolah sekaligus, yaitu Sekolah Pertanian Jepang dan Sekolah Keguruan Jepang yang dua-dua berada di Tomohon.
Dengan kemampuan bahasa Jepangnya yang baik, Wolter Monginsidi pulang ke Malalayang dan menjadi guru Bahasa Jepang di kampung halamannya tersebut.
Selain Malalayang, Wolter yang baru berusia 18 tahun ini juga mengajar ke beberapa daerah lain, seperti Minahasa, Luwuk Banggai, serta Liwutung.
Setelah 2 tahun Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Wolter Monginsidi memutuskan untuk merantau ke Makassar.
Kiprah Perjuangan Wolter Monginsidi
Baru saja Indonesia merdeka, Belanda kembali datang dengan wujud baru, yaitu Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang ingin menguasai Indonesia lagi.
Darah muda Wolter mendidih akibat kedatangan Belanda yang mengancam kemerdekaan RI. Ia dengan tegas bergabung bersama Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) pada tanggal 17 Juli 1946.
Walau masih berusia muda, keberanian Wolter Monginsidi nyatanya sudah teruji. Berkali-kali ia terjun ke medan perang melawan NICA yang menggunakan senjata lebih canggih.
Berkat kecakapannya inilah, Wolter mendapat kepercayaan untuk menjadi salah satu pimpinan LAPRIS serta memimpin pasukannya sendiri melawan NICA di Makassar dan sekitarnya.
Jika melihat secara struktural, Wolter Monginsidi menjabat sebagai sekretaris LAPRIS. Tetapi, ia juga merangkap sebagai perencana operasi militer serta menyamar untuk menentukan sasaran.
Penyamarannya selalu berhasil lantaran Wolter memiliki wajah yang agak kebule-bulean. Dengan begitu, serangan dari pasukan LAPRIS pun selalu tepat sasaran berkat informasi dari Wolter.
Keberanian Wolter Monginsidi Masuk Kandang Musuh
Aksi heroik Wolter Monginsidi benar-benar menggambarkan sosok pemuda yang rela berjuang demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Kala itu, salah satu sudut kota Makassar masih sepi, lalu melaju mobil jip militer milik Belanda menuju tangsi. Di depannya, sudah menunggu 4 orang pemuda berpakaian tentara, yaitu Wolter Monginsidi, Abdullah Hadade, Lewang Daeng Matari dan HM Yoseph.
Jip dihentikan, lalu Wolter segera menodongkan senjata ke kepala orang dalam mobil tersebut. Ternyata, orang yang melajukan mobil militer Belanda itu adalah seorang kapten.
Lantas, Wolter segera melucuti seragam dan pangkat sang kapten, kemudian ia gunakan secepatnya untuk menyamar.
Wolter dan ketiga kawannya masuk ke dalam mobil jip militer Belanda. Ia menjalankan mobil ke arah tangsi dan berhasil masuk ke kandang musuh.
Seketika suasana mendadak riuh saat Wolter memberondongkan senapannya ke area tangsi. Tentara Belanda yang ada di dalam tangsi segera berhamburan keluar, panik dan menyelamatkan diri.
Selain itu, aksi heroik Wolter lainnya terjadi pada minggu ketiga bulan Januari 1947. Pasukannya terlibat kontak senjata dengan tentara Belanda serta berhasil mundur lawan.
Beberapa hari kemudian, terjadi baku tembak lagi. Nyaris saja Wolter Monginsidi tertangkap, namun berhasil meloloskan diri.
Berkat serangkaian perlawanan inilah, Wolter Monginsidi menjadi terkenal dari kalangan tentara Belanda. Bahkan, beberapa kali Belanda melakukan aksi razia besar-besaran hanya untuk menangkapnya.
Lalu, pada 28 Februari 1947, ia berhasil tertangkap bersama kawan-kawannya dan masuk ke dalam bui.
27 Oktober 1947, rupanya kawan-kawan seperjuangannya ada yang berhasil menyelundupkan 2 granat yang mereka masukkan ke dalam roti. Granat pun meledak dan seisi komplek penjara menjadi kacau balau.
Wolter dan ketiga kawannya segera memanfaatkan situasi dan kabur dari penjara lewat cerobong asap dapur.
Dikhianati Oleh Kawan Seperjuangannya
Setahun kemudian, tiba-tiba Wolter Monginsidi terkepung di sebuah gang. Ia kaget karena pihak Belanda mengetahui posisinya. Rupanya, ada pengkhianat yang memberitahu posisi Wolter.
Pengkhianat tersebut merupakan tiga kawan Wolter yang sebelumnya pernah masuk bui bersamaan, yaitu HM Yoseph, Lewang Daeng Matari serta Abdullah Hadade. Diketahui bahwa ketiganya mendapatkan uang suap dari kolonial Belanda.
Sebenarnya, Wolter memiliki granat yang bisa ia lemparkan begitu saja. Namun, posisi gang tempatnya terkepung adalah daerah pemukiman warga. Akhirnya, ia menyerah demi keselamatan rakyat.
Wolter Monginsidi kembali masuk ke dalam penjara Kiskampement Makassar. Tangan dan kakinya dibelenggu dengan rantai menghadap ke tembok tahanan.
Berulang kali Belanda membujuknya untuk bekerjasama, tetapi Wolter selalu menolak dengan tegas. Hingga pada tanggal 26 Maret, keluar pengumuman bahwa ia akan divonis hukuman mati.
Gugur Dengan Penuh Kebanggaan
Meskipun sudah divonis hukuman mati, pihak Belanda masih mencoba membujuk Wolter untuk mengajukan grasi dan bekerjasama dengan mereka.
Lagi dan lagi, Wolter tetap pada pendiriannya dan tegas menolak segala bentuk bujukan apapun. Ia memang mendapat pengkhianatan, tetapi dirinya sangat anti menjadi pengkhianat.
Selama berada di sel tahanan dan menunggu maut menjemput, Wolter Monginsidi semakin mendekatkan diri kepada Tuhan dengan membaca ayat-ayat Alkitab.
Beliau juga menuliskan beberapa pesan perjuangan dalam lembaran kertas. Ia mengatakan bahwa dirinya tak akan pernah menyerah serta tak takut mati demi harga diri dan bangsa.
Salah satu tulisannya yang terdapat dalam lembaran kertas berjudul Setia Hingga Terakhir dalam Keyakinan, yaitu:
“Perjuanganku terlalu kurang, tapi sekarang Tuhan memanggilku. Rohku saja yang akan tetap menyertai para pemuda pemudi. Semua air mata dan darah yang telah dicurahkan akan menjadi salah satu fondasi yang kokoh untuk tanah air kita yang dicintai Indonesia”.
Senin dini hari, tanggal 5 September 1949 yang menjadi hari penghakiman bagi Wolter pun datang.
Ia langsung dibawa ke hadapan algojo yang akan mengeksekusinya. Tanpa penutup mata, dirinya tak terlihat gentar maupun takut.
Bersamaan dengan tiga pekikan “Merdeka atau Mati!”, 8 peluru berhasil menembus raganya. Ia bersimpuh dan gugur secara terhormat pada waktu Subuh di usia muda, yaitu 24 tahun.
Penghargaan
Atas keberanian, jasa dan perjuangannya, jenazah Wolter Monginsidi dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Makassar pada 10 November 1950.
Beliau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh presiden RI pada tanggal 6 November 1973. Lalu mendapatkan anugerah Bintang Mahaputra I pada 10 November 1973.
Kesimpulan
Demikian informasi mengenai biografi Wolter Monginsidi yang begitu luar biasa. Beliau rela mengorbankan nyawanya hanya untuk satu kata “Merdeka” bagi bangsa Indonesia.