Halo sobat Biografinesia! Pada artikel kali ini kalian akan mengetahui biografi Adisucipto, sang bapak penerbang republik Indonesia. Kiprahnya kepada Angkatan Udara dan bangsa Indonesia memiliki jasa yang sangat besar.
Beliau gugur ketika sedang melaksanakan tugas. Sehingga, Adisucipto mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah Indonesia.
Nah, bagi sobat Biografinesia yang penasaran bagaimana biografi Adisucipto, maka bisa cek ulasannya berikut ini.
Contents
Profil Adisucipto
Nama: Agustinus Adisoetjipto
Tempat Lahir: Salatiga
Tanggal Lahir: 3 Juli 1916
Agama: Khatolik
Profesi: Komodor Muda Udara (Anumerta)
Masa Dinas: 1945 – 1947
Wafat: 29 Juli 1947
Biografi Adisucipto
Agustinus Adisoetjipto lahir pada tanggal 3 Juli 1916, di Salatiga. Beliau merupakan putra sulung dari Roewidodarmo. Ayahnya merupakan seorang pensiunan yang memiliki salah satu sekolah di Salatiga.
Sejak masih muda, Adisucipto senang sekali membaca buku. Mulai dari buku filsafat kemiliteran, buku filosofi, hingga buku olahraga.
Pendidikan
Setelah lulus dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah setingkat SMP, Adisucipto berniat untuk mengikuti tes ke sekolah penerbangan yang ada di Kalijati.
Tetapi, sang ayah menentang keinginannya, sehingga Adisucipto melanjutkan pendidikan ke Algeemene Middelbare School (AMS) Semarang.
Adisucipto lulus pada tahun 1936 dan kembali meminta izin kepada ayahnya untuk mengikuti pendidikan sekolah militer Breda di Belanda.
Lagi-lagi, sang ayah tidak memberi izin dan menyarankan agar ia masuk ke sekolah kedokteran.
Karena merasa tak ada lagi harapan, Adisucipto pun mengikuti keinginan ayahnya. Beliau menempuh pendidikan tinggi di Genneskundige Hooge School, salah satu sekolah tinggi kedokteran yang ada di Jakarta saat itu.
Selama menempuh pendidikan di sekolah tinggi kedokteran, Adisucipto terkenal sebagai mahasiswa yang rajin. Namun, pikirannya tak bisa berhenti dari “udara” karena ia merasa jiwanya sudah melekat di sana.
Oleh karena itu, Adisucipto diam-diam mengikuti test penerimaan Militaire Luchtvaart Opleidings School atau sekolah pendidikan penerbangan militer Kalijati.
Beliau berhasil lulus dengan nilai memuaskan. Dari sinilah, sang ayah pun mulai luluh hatinya dan mengizinkan Adisucipto untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah penerbangan.
Kiprah Adisucipto
Setelah lulus dari tingkat pertama, Agustinus Adisucipto mulai diterima sebagai kadet penerbang.
Bersama dengan 9 siswa lainnya, Adisucipto berhasil mencapai tingkat Vaandrig Kortverbang Vlieger alias Letnan Muda calon penerbang ikatan pendek.
Sayangnya, pada masa itu masih sering terjadi diskriminasi antara orang Belanda dan pribumi. Sehingga, dari 10 siswa hanya 5 orang saja yang berhasil lulus.
Lima orang terpilih itu mampu mencapai tingkat Klein Militaire Brevet alias Brevet Penerbang Tingkat Pertama.
Namun, dari lima orang tersebut, hanya terpilih 2 orang saja yang mendapatkan Groot Militaire Brevet alias Brevet Penerbang Tingkat Atas, yaitu Sambudjo Hurip dan Adisucipto.
Saat menjadi penerbang, karir Adisucipto pun semakin melejit. Beliau resmi diangkat menjadi Ajudan Kaptein (kolonel) Clason, seorang pejabat Angkatan Udara KNIL Jawa. Posisi ini Adisucipto duduki hingga Belanda datang ke Indonesia pada tahun 1942.
Ketika Jepang sudah mulai menguasai Indonesia, para mantan petugas KNIL pun dibebastugaskan, termasuk Adisucipto. Sehingga, beliau pun kembali ke kampung halamannya, yaitu Salatiga.
Adisucipto mulai bekerja sebagai jurutulis di sebuah Perusahaan Angkutan Bus (Jidosya Jimukyoku).
Perjuangan Adisucipto
Saat masa revolusi, Adisucipto memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta. Bertepatan dengan itu, pada tanggal 5 Oktober 1945, pemerintah mendirikan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bagian penerbangan.
Bagian ini memiliki tugas untuk membangun dan menyusun penerbangan militer. Komodor Udara saat itu adalah Soerjadi Soerjadarma, seorang perwira lulusan Akademi Militer Breda.
Selanjutnya, beliau memanggil Adisucipto untuk bergabung dan turut serta membantu menyusun kekuatan udara.
Tak hanya Adisucipto, Soerjadarma pun memanggil seluruh penerbang mantan KNIL yang berada di pulau Jawa untuk bergabung dengan TKR bagian penerbangan.
Pada bulan Desember, Oerip Sumohardjo, kepala staff umum TKR (sekarang berganti menjadi TNI) memerintahkan para komandan agar segera mengklarifikasi seluruh material serta penerbang, kemudian melapor ke Markas Besar Umum (MBU).
Dari pengumuman tersebut, Adisucipto diangkat sebagai Komodor Muda Utara dan bertanggungjawab untuk mengambil alih seluruh personel, material serta instalasi.
Mendirikan Sekolah Penerbangan
Pada tanggal 27 Oktober 1945, Adisucipto berhasil menerbangkan pesawat Cureng dengan bendera merah putih di sekitaran Yogyakarta.
Tujuan menerbangkan pesawat ini adalah untuk membakar semangat rakyat Indonesia dalam melawan penjajah.
Penerbangan Adisucipto ini menjadi penerbangan bendera merah putih pertama yang ada di Indonesia. Hal itu pun menjadi bukti cinta tanah air yang sangat besar.
Selanjutnya, pada tanggal 15 November 1945, Adisucipto mulai mendirikan sekolah penerbangan di Yogyakarta, yaitu berada di Lapangan Udara Maguwo.
Salah satu perwira TNI-AU yang pernah mengajar di sekolah milik Adisucipto ini adalah Halim Perdanakusuma.
Tanggal 15 Desember 1945, Adisucipto mendapatkan tanggungjawab dari panglima divisi setempat yang berada di kawasan lapangan Maguwo. Beliau juga mendapat tugas untuk memimpin kesatuan operasi dengan basis Maguwo.
Oleh karena itu, Adisucipto terkenal sebagai perintis utama dalam sejarah pendidikan penerbangan Indonesia.
Wafatnya Adisucipto
Ketika Agresi Militer Belanda I, Adisucipto bersama komodor muda udara, Abdulrahman Saleh diperintahkan untuk kembali ke India memakai pesawat Dakota VT-CLA.
Keduanya berhasil menerobos blokade udara Belanda saat menuju India dan Pakistan. Sebelum kembali ke Indonesia, mereka singgah dulu ke Singapura untuk mengambil bantuan obat-obatan dari Palang Merah Internasional.
Soerjadi Surjadarma menunggu kedatangan mereka di Lanud Maguwo. Beliau memerintahkan agar pesawat tak perlu berputar-putar sebelum mendarat guna menghindari kemungkinan serangan udara ke pesawat tersebut.
Namun, ketika pesawat yang Adisucipto dan Abdulrahman Saleh tumpangi mendekati Lanud Maguwo, pesawat ini masih berputar-putar bersiap mendarat.
Saat itulah muncul dua pesawat Kittyhawk milik Belanda dari arah utara. Pesawat yang ditumpangi oleh Lettu B. J. Ruesink serta Serma W.E Erkelens langsung menembak pesawat Dakota VT-CLA.
Akibatnya, pesawat Adisucipto dan Abdulrahman Saleh pun kehilangan kendali hingga terjatuh di perbatasan Desa Ngoto sampai terbakar.
Adisucipto wafat dalam peristiwa naas ini pada tanggal 29 Juli 1947. Jenazahnya disemayamkan di pemakaman umum Kuncen I dan II, lalu dipindahkan ke Monumen Perjuangan TNI-AU pada tanggal 14 Juli 2000, di Sewon, Yogyakarta.
Penghargaan
Atas jasa-jasanya yang beliau berikan kepada TNI-AU dan NKRI, Adisucipto mendapatkan beberapa penghargaan.
Berdasarkan Keppres Nomor 071/TK/1974, pada tanggal 9 November 1975, Adisucipto mendapatkan gelar Pahlawan Nasional.
Namanya juga diabadikan menjadi salah satu nama bandar udara yang ada di Yogyakarta, yaitu Bandar Udara Adi Sucipto.
Kesimpulan
Adisucipto merupakan seorang komodor udara Indonesia yang berasal di Salatiga. Beliau menjadi satu-satunya orang yang memiliki ijazah Groote Militaire Brevet, sehingga mendapatkan tugas untuk memimpin kesatuan operasi dengan basis Maguwo.
Berkat kecintaannya terhadap Angkatan Udara, beliau terkenal sebagai perintis utama pendidikan penerbangan Indonesia sekaligus Bapak Penerbang Indonesia.
Nah, itulah informasi seputar biografi Adisucipto yang bisa sobat Biografinesia ketahui. Tentunya, masih banyak biografi para pahlawan nasional lainnya yang bisa kamu simak, lho.
Sampai jumpa di artikel biografi menarik lainnya, ya!