Biografi Tuanku Imam Bonjol: Sang Pemimpin Perang Padri

Halo sobat Biografinesia! Kali ini kita akan membahas seputar biografi Tuanku Imam Bonjol. Kalian pasti tidak asing dengan pahlawan nasional ini, ya. Soalnya, beliau pernah terlihat dalam uang kertas Rp 5000.

Sebelumnya, kita sudah mengenal salah satu tokoh pahlawan yang berperan sebagai pemimpin, yaitu Pangeran Antasari sang pemimpin perang Banjar.

Nah, sekarang saatnya kita mengetahui biografi Tuanku Imam Bonjol yang menjadi pemimpin dalam perang Padri. Langsung baca sampai akhir, ya!

Profil Tuanku Imam Bonjol

Nama Asli: Muhammad Syahab

Tempat Lahir: Bonjol, Sumatera Barat

Tanggal Lahir: 1 Januari 1772

Profesi: Ulama

Wafat: 8 November 1864

Biografi Tuanku Imam Bonjol

Biografi Tuanku Imam Bonjol
Sumber: BilQolam Al-Iman

Muhammad Syahab merupakan nama asli dari Tuanku Imam Bonjol. Beliau lahir pada tanggal 1 Januari 1772, di Bonjol, Luhak Agam, Pagaruyung, Sumatera Barat. Tuanku Imam Bonjol adalah putra dari pasangan Khatib Bayanuddin dan Hamatun.

Ayahnya seorang ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Sementara ibunya ialah perantau dari Arab bersama pamannya, Syekh Usman.

Mereka berdua datang ke Alai Ganggo Mudik, lalu diterima dengan baik oleh masyarakat adat Minangkabau. Kemudian, Syekh Usman menjadi seorang penghulu kaum keturunannya, yaitu bagian dari klan suku Koto.

Sebagai seorang ulama, Tuanku Imam Bonjol memiliki berbagai macam gelar kehormatan. Mulai dari Peto Syarif, Malin Basa hingga Tuanku Imam.

Tuanku merupakan gelar kehormatan untuk para pemimpin agama. Sehingga, gelar ini tak sembarang diberikan kepada orang-orang dan hanya para ulama yang telah mempelajari agama Islam saja yang dapat memilikinya.

Pendidikan

Sejak masih kecil, Tuanku Imam Bonjol sudah belajar untuk rajin melaksanakan shalat lima waktu. Ayahnya sering memberikan pengajaran Islam sesuai syariat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

Takdir berkata lain, sang ayah tutup usia saat Tuanku Imam Bonjol berusia 7 tahun. Sehingga, pendidikan Islam dilanjutkan pengajarannya oleh sang nenek, yaitu Tuanku Bandaharo. Beliau tinggal di Kampung Padang Lawas dalam kenagarian Ganggo Hilir.

Bersama sang nenek, Tuanku Imam Bonjol pergi ke tempat Tuanku Koto Tuo untuk belajar agama Islam. Tuanku Koto Tuo merupakan seorang ulama yang memiliki pengetahuan agama luas di Empat Angkat Candung.

Dari beliaulah, Tuanku Imam Bonjol mendapatkan ilmu fiqih berdasarkan Al-Qur’an dan hadist Nabi.

Semasa belajar, kecerdasan Tuan Imam Bonjol begitu terlihat. Beliau mampu mempelajari seluruh ilmu agama Islam hanya dalam waktu singkat.

Sehingga setelah lulus, Tuanku Koto Tuo menyerahkan tugas pengajar kepada Tuanku Imam Bonjol. Sejak saat itulah Tuanku Imam Bonjol mendapatkan gelar Malin Basa.

Namun, rasa ingin tahu Tuanku Imam Bonjol sangat besar. Beliau pun memutuskan untuk mempelajari pendidikan agama Islam hingga ke Aceh.

Tentunya, perjuangan menuju Aceh kala itu amatlah sulit. Tuanku Imam Bonjol mendalami ilmu Agama Islam selama 2 tahun di Aceh.

Selanjutnya, beliau mulai menambah ilmu baru melalui pengajaran Tuanku Nan Renceh yang lokasinya ada di Kamang.

Tetapi, karena kondisi Minangkabau saat itu, Tuanku Imam Bonjol tak hanya mempelajari pengetahuan Islam, melainkan belajar terkait ilmu perang juga.

Pada akhirnya, pengajaran pun lebih fokus terhadap pembelajaran ilmu perang. Mulai dari cara menunggangi kuda sambil memimpin pasukan, taktik memimpin perang, mencari strategis untuk menyerang dan bertahan, serta ilmu perang lainnya.

Mendirikan Kota Bonjol

Pada tahun 1807, Tuanku Imam Bonjol dan pengikutnya pergi hijrah dan mendirikan suatu kota kecil bernama Bonjol.

Dari sinilah, gelar Tuanku Imam pun diberikan oleh Tuanku Nan Renceh sekaligus penobatan Tuanku Imam Bonjol sebagai pemimpin kota tersebut.

Tak hanya menjadi pemimpin, Tuanku Imam Bonjol mulai mengembangkan usaha perdagangan. Dirinya berusaha mengamankan jalur perdagangan dari pantai barat dan pantai timur Sumatra melalui bantuan hulubalang.

Perdagangan ini semakin berkembang hingga Tapanuli Selatan. Sehingga, kota Bonjol menjadi lebih berkembang dan terkenal sebagai pusat pembaharuan Islam sekaligus perdagangan daerah Minangkabau.

Sayangnya, ketika kota Bonjol sedang dalam masa perkembangan, muncul sebuah perang saudara yang terkenal dengan nama Perang Padri. Perang ini terjadi antara kaum Padri (ulama) serta kaum adat.

Pecahnya Perang Padri

Perang Padri
Sumber: detikcom

Tuanku Imam Bonjol turun langsung dalam perang paling lama, yaitu Perang Padri pada tahun 1803 sampai 1838. Perang yang melibatkan sesama orang Minang dan Mandailing ini pun akhirnya pecah tak terelakkan.

Perang Padri dilatarbelakangi oleh tiga orang yang baru pulang haji dari Mekkah pada tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Manik. Mereka berniat ingin memperbaiki syariat Islam yang berada di kota Minangkabau.

Mengetahui hal itu, Tuanku Nan Renceh bersama para ulama yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan setuju untuk memberikan dukungan.

Lantas, Harimau Nan Salapan pun meminta kepada Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung, yaitu Sultan Arifin Muningsyah dan Kaum Adat agar meninggalkan kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Setelah melalui berbagai macam perundingan, nyatanya Kaum Adat tak menyepakati keinginan Kaum Padri (para ulama). Hingga akhirnya, perang saudara antara Kaum Padri dan Kaum Adat pun pecah dan terkenal dengan nama Perang Padri.

Pada tahun 1815, Tuanku Pasaman yang memimpin Kaum Padri pun menyerang Pagaruyung. Pertempuran ini pecah di daerah Koto Tangah dekat dengan Batu Sangkar. Kala itu, Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibu kota ke kerajaan Lubukjambi.

Pada 21 Februari 1821, Kaum Adat terdesak oleh Kaum Padri sehingga meminta bantuan kepada pemerintah Belanda. Sisa keluarga Pagaruyung menyaksikan proses perjanjian dan penandatanganan di kota Padang.

Sebagai kompensasinya, Belanda mendapatkan hak akses serta penguasaan atas wilayah darek atau pedalaman Minangkabau.

Kaum Adat dan Kaum Padri Bersatu

Belanda sempat kesulitan saat menghadapi pasukan Tuanku Imam Bonjol. Apalagi mereka harus memadamkan perang dari daerah lain, salah satunya perang Diponegoro.

Belanda pun membuat siasat perdamaian dengan Imam Bonjol yang terkenal dengan nama Perjanjian Masang pada tahun 1824. Imam Bonjol menyetujui perjanjian tersebut, sehingga Belanda dapat menarik pasukannya untuk berperang ke daerah lain.

Namun, setelah mereka selesai berperang dari daerah lain, Belanda malah datang menyerang kembali. Hal inilah yang membuat Imam Bonjol tak percaya lagi sedikit pun kepada kolonial Belanda.

Kaum Adat bersama Kaum Padri bersatu melawan kolonial Belanda pada tahun 1833. Sebab, mereka menyadari kalau peperangan itu hanya membuat rakyat sengsara.

Selama kurang lebih 6 bulan, pasukan Belanda menyerang dan mengepung Benteng Kaum Padri.

Pengasingan dan Akhir Hayat Tuanku Imam Bonjol

Pada tanggal 16 Agustus 1837, benteng Bonjol berhasil Belanda kuasai. Akhirnya, Tuanku Imam Bonjol pun menyerah pada bulan Oktober 1837 dengan kesepakatan anaknya yang ikut bertempur, yaitu Naali Sutan Chaniago harus menjadi pejabat kolonial Belanda.

Tuanku Imam Bonjol lantas diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian, beliau dipindahkan ke Ambon dan terakhir ke Lotta, Minahasa yang dekat dengan Manado.

Tuanku Imam Bonjol tutup usia pada tanggal 8 November 1864 di Minahasa saat berusia 92 tahun dan dimakamkan di tempat pengasingan tersebut.

Penghargaan

Atas keberanian dan perjuangannya melawan kolonial Belanda, pemerintah Indonesia memberikan penghargaan Pahlawan Nasional pada tanggal 6 November 1973.

Nama Tuanku Imam Bonjol pun diabadikan menjadi nama jalan hingga wajahnya diabadikan dalam uang kertas Rp 5000 sejak tahun 2001.

Kesimpulan

Nah, itulah informasi seputar biografi Tuanku Imam Bonjol yang bisa sobat Biografinesia ketahui. Masih banyak biografi para pahlawan nasional lainnya yang akan kita bahas, pastikan stay tune terus, ya!

Tinggalkan komentar